السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Panel Home
Other Content
HADITSHR BUKHARI
    • Posts
    • Comments
    • Pageviews

  • Translate
  • Menuju Peradaban Yang Lebih Berkah


    Menuju Peradaban yang Lebih “Diberkahi”. Sejak awal perkembangan Islam, langkah fundamental yang diambil oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk membumikan nilai-nilai Islam, adalah mencari lingkungan yang steril dari kontaminasi dan dominasi hukmu al jahiliyyah (hukum jahiliyah), tabarruj Al Jahiliyyah (tatanan sosial yang mengabaikan moral), Zhan Al Jahiliyyah (gaya hidup yang menuhankan materi), hamiyyatul jahiliyyah (kultur jahiliyah) dalam segala dimensinya.

    Membangun Islam dalam lingkungan yang tidak kondusif dengan begitu, laksana menanam benih di lahan yang gersang, kering kerontang. Tentu benih yang ditanam tidak akan tumbuh menjadi tanaman yang subur. Bahkan, kemungkinan besar akan layu. Hidup segan, mati tak mau. "Laa yamuutu wa laa yahyaa."

    Umar bin Khathab ketika memimpin upacara pemberangkatan para dai ke berbagai belahan dunia: Fii ayyi ardhin taqo’ anta mas’ulun ‘an Islamiha (di bumi manapun anda berdiam, anda memiliki tugas untuk mengIslamkan penduduknya).

    Selama 13 tahun Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya berIslam di Makkah, terbukti hanya beberapa gelintir orang yang menyambut seruannya. Itupun, sebagian besar berasal dari kalangan grass root (mustadh’afin)..Karena lingkungan sosial Makkah didominasi kemusyrikan. Penyakit molimo (minum, mencuri, membunuh, main perempuan, berjudi, memakan riba) yang diderita masyarakat sudah pada stadium akut.

    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : “Seseorang itu tergantung agama kekasihnya, maka lihatlah kepada siapa ia berteman.” (HR. Ahmad )

    Dalam Hadits lain disebutkan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua lah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

    Begitu pentingnya sebuah lingkungan (al Biah), sehingga sastra arab mengatakan : “Nahnu ibnul biah.” (kita adalah produk sebuah lingkungan). Ada ungkapan lain yang senada: “Al Jaaru qabla ddar.” (mencari tetangga yang sepaham/sefikrah terlebih dahulu sebelum membangun rumah). Manusia itu diperbudak oleh kebiasaan dimana ia berdiam, kata sastra Arab. Seseorang yang akrab, dekat dan erat dengan penjual minyak wangi, akan terkena bau wangi, seseorang yang dekat dengan pandai besi, akan kecipratan bau besi. Seseorang yang dekat dengan orang-orang pilihan, ia akan terpengaruh oleh mereka.

    Jadi, lingkungan yang Islami merupakan hidden curiculum yang akan merekonstruksi/menata ulang struktur kepribadian penghuninya menjadi Islami. Sebaliknya kawasan yang jahili akan membentuk pola pikir dan sikap mental jahiliyah penghuninya pula.

    “Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.”
    (HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).

    Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat As Sabiqun Al Awwalun ( angkatan Islam pertama) itu merasakan bumi Makah terlalu sempit menampung idealisme tauhid, Beliau ekspansi dakwah dan mencari basis teritorial lain yang lebih menjanjikan. Sehingga beliau memilih tanah Thaif sebagai alternatif pertama, tetapi respon kaum Thaif tidak menyenangkan. Bahkan beliau dilempari dengan batu. Kemudian mengadakan hijrah ke Habasyah. Namun imigrasi yang kedua ini kurang lebih sama dengan tujuan hijrah pertama. Sekalipun Raja Habsyi cukup toleran, hanya ghulam (seorang pemuda) yang masuk Islam ketika tertarik melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam makan dengan membaca doa.

    Baru setelah hijrah ke Madinah terjadi perkembangan spektakuler baik dari segi kaulitas maupun kuantitas kaum Muslimin. Dalam waktu 10 tahun di Madinah, kaum muslim tercatat 10.000 orang. Peristiwa hijrah ini kemudian dijadikan Khalifah Umar bin Khathab sebagai momentum penetapan tahun baru Islam. Sekalipun banyak peristiwa besar yang mendahuluinya, seperti pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abraha untuk menghancurkan Ka’bah dll. Dari sini titik tolak perubahan totalitas kaum muslimin pertama terjadi. 

    Pelajaran Fundamental Hijrah

    Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa hijrah ini, dikaitkan “hijrah” modern dengan visi membangunan peradaban Islam ke depan.

    Pertama: Reformasi itu dimulai dari level kepemimpinan

    Yang perlu diluruskan bahwa hijrah itu tidak identik dengan urbanisasi. Karena hijrah itu menuntut adanya perubahan secara radikal dan total. Dan setiap perubahan itu, berimplikasi sangat jauh. Perubahan itu memerlukan pengorbanan, maka terasa pahit. Apalagi jika seseorang itu telah membangun imperium, kedaulatan, status quo sudah sedemikian kokoh. Dipagari oleh kesetiaan dan hak-hak istimewa. Dalam kondisi demikian, perubahan itu biasanya ditafsirkan dengan instabilitas, anti kemapanan dll.

    Dari berbagai teori perubahan, kejatuhan dan kebangunan negara dapat dipahami bahwa perubahan itu akan sukses jika di pelopori dari setiap individu, utamanya kalangan elitis sebuah komunitas. “Taghyiiru khuluqil ummah taabi’un litaghyiiri khuluqil qiyadah,” (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah di kalangan elit kepemimpinan), kata Ibnu Khaldun. Jika kita getol menyapu lantai rumah, sementara kotoran atapnya dibiarkan menempel, maka lantai akan kotor kembali.

    Kedua: Komitmen terhadap regenerasi

    Kepimpinan yang baik adalah mempersiapkan penggantinya. Penerus dan pewaris perjuangannya. Sebab usia seorang pemimpin umumnya lebih pendek dibandingkan dengan nilai immaterial, misi yang diperjuangkan. Bahkan ummat Muhammad hanya berumur berkisar 60 sampai 70 tahun (HR. Ahmad). Nilai-nilai moral yang tidak secepatnya diwariskan, maka negara, intitusi, akan kurang dinamis dalam merespon perubahan sekitarnya. Yang dimaksud kader disini adalah seseorang yang dididik, disiapkan, disetting, untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam sebuah keluarga, partai, intitusi, lembaga, negara. Oleh karena itu sebelum Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hijrah, telah mempersiapkan Ali untuk menggantikan tempat tidurnya. Dengan regenerasi maka kesinambungan amal dan transfer nilai akan berjalan dengan baik.

    Ketiga: Memperkuat Sandaran Vertikal

    Ketika rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sudah dikepung oleh para algojo dari berbagai kabilah Arab untuk menghabisi nyawanya, beliau tetap memiliki kestabilan jiwa. Hal ini merupakan salah satu buah ketargantungannya (ta’alluq) kepada Al Khaliq yang sudah terlatih selama 13 tahun di Makkah. Bahkan pada malam hari, saat memutuskan berangkat secara rahasia bersama kekasihnya Abu Bakar, beliau membacakan salah satu firman Allah Swt. :

    وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدّاً وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدّاً فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ

    “Dan Kami adakan dihadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin 36/9).

    Setelah itu para algojo itu tidak bisa mendeteksi kepergian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. karena dibuat mengantuk oleh Allah. Setelah memasuki rumah beliau merasa terheran-heran, ternyata yang menempati tidur Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah anak pamannya Abu Thalib, Ali kw. Betapa terkejutnya mereka. Mereka membuat makar, dan Allah membuat makar yang lebih canggih kepada mereka.

    Sebuah bangsa yang dibangun tanpa memperhatikan aspek moral, keterlibatan Tuhan maka ucapkanlah taziyah (ucapan terakhir untuk mayit) kepada bengsa itu. Negara yang dibangun dengan mengabaikan peranan Tuhan, laksana membangun istana pasir atau permukaan balon. Negara itu akan keropos, mudah rapuh oleh tangan jahil penghuninya atau oleh konspirasi eksternal.

    Keempat: Membangun sinergi dengan pihak lain

    Sesungguhnya eksistensi sebuah peradaban sangat didukung oleh ketrampilannya dalam membangun kerjasama dengan pihak lain. Untuk mendukung keberhasilan hijrah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bekerjasama dengan penggembala kambing orang Nasrani (Abdullah) untuk menghilangkan jejak dan rute yang dilewati. Sehingga beliau dan Abu Bakar menaiki Gua Tsur dengan aman. Tanpa sepengetahuan musuh-musuhnya.

    Sesungguhnya ajaran Islam menjunjung tinggi kerjama dalam kebaikan dan taqwa. Dan menolak sinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.Ciri yang paling menonjol akhlaq Islam dengan agama lain adalah menjunjung tinggi kesepahaman dan tidak menghalalkan segala cara. Bertolak belakang dengan sistem politik Machiavelli. “Al ghoyatu tubarrirul wasaa-il” (segala cara ditempuh, demi mencapai tujuan). Maka ada sebuah pameo; “Tidak ada kawan abadi, yang kekal adalah kepentingan.”

    Disamping konsep Islam teguh dalam persoalan prinsip, terbuka pula dalam menerima perubahan-perubahan yang bersifat tekhnikal. Rasulullah telah mengajarkan sikap keterbukaan dalam memandang perbedaan. Perbedaan pandangan adalah suatu fitrah. Bahkan dengan beragam perbedaan itu bisa mendewasakan seseorang. Yang penting, mensiasati dan mengelola perbedaan itu agar menjadi produktif. Islam mengajarkan sepakat dalam persoalan prinsip dan toleran dalam perbedaan yang bersifat non prinsip. Oleh karena itu, kita dituntut menyederhanakan perbedaan dan mengedepankan kesepahaman. Dengan kerjasama yang baik antara berbagai komponen komunitas (pemimpin (Rasulullah), generasi tua (Abu Bakar), kalangan pemuda (Ali krw) kesulitan dan tantangan seberat apapun akan mudah diatasi.

    Kelima: Pemberdayaan perempuan

    Sesungguhnya wanita adalah saudara laki-laki (syaqoiqur Rijal). Dalam Islam laki-laki dan wanita itu satu kesatuan. Bahkan wanita itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari satu jiwa, maka laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan yang berprestasi akan mendapatkan balasan yang sama.Oleh karena itu Allah memberikan tugas dan kewajiban kepada makhluq-Nya sesuai dengan fungsi kodratinya.

    Perempuan yang terdidik dengan baik, memiliki kualitas yang melebihi laki-laki. Asma’ binti Abu Bakar dalam usia belia berhasil mengomandani urusan logistik ketika hijrah. Sekalipun medan yang dilewati terjal, dan nyawanya terancam. Demikianlah perempuan yang berkualitas, mengungguli bidadari. Karena bidadari masuk surga karena takdir. Sedangkan wanita shalihah berhasil karena perjuangan. Ketika masuk surga, menghargai tempat yang dihuni.

    Sebaliknya wanita yang dibiarkan bengkok, maka kejahatannya akan melebihi laki-laki. Masih ingatkah kita peristiwa pembedahan dada mayat Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian digigit hatinya. Itulah perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Hindun. Sehingga ketika telah masuk Islam, Rasulullah melihat wajahnya. Terbayang dengan peristiwa yang memilukan/menyayat hati.

    Wanita shalihah lebih baik dari bidadari. Karena wanita shalihah berhasil berkat perjuangannya (mujahadah). Ketika masuk surga, ia menghargai posisi yang ditempatinya. Sedangkan bidadari masuk surga secara cuma-cuma (majjanan). Ia tidak merasakan pentingnya tempat yang dihuni (Hadil Arwah, Ibnul Qayyim Al Jauziyah).

    Keenam: Membangun pola kepemimpinan Imamah

    Ketika di Gua Tsur Abu Bakar merasa cemas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghiburnya: Laa tahzan innalloha ma’anaa (Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita). Pada ayat ini beliau menggunakan khithab (pembicaraan) nun jama’ (prular) “ma’anaa”. Disini diambil pelajaran pentingnya berjamaah dalam membangun peradaban.

    Berjamaah adalah media yang efektif dan efisien dalam memperkecil konflik. Mengesampingkan perbedaan dan menonjolkan persamaan. Berjamaah adalah fitrah manusia. Dengan berjamaah kita menyadari keterbatasan kita. Keberhasilan kita terwujud didukung oleh pengorbanan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran kita di bumi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama kedua orang tua kita. Sesungguhnya kita berasal dari percikan-percikan air (qothorot) dan menjadi manusia (fashorot insanan).

    Keberhasilan yang dinikmati sendirian, tidak terlalu membahagiakan. Kesusahan yang ditanggung secara kolektif, maka derita menjadi ringan untuk dipikul. Itulah pentingnya kebersamaan. Dan karena kelemahan kita, menuntut adanya kerja sama dengan pihak lain di luar kita. Bahkan menjaga keshalihan kita mustahil terwujud tanpa berjamaah.

    Kebenaran tanpa aturan, terkadang dikalahkan oleh kebatilan yang teratur kata Imam Syafii. Dunia ini dikuasai oleh negara Super Power. Namun, yang sedikit kita ketahui, dibalik kekuatan negara adi kuasa itu, terbukti ada kekuatan penekan (jama’atudh dhoghthi) yang diperankan oleh jaringan mafia kejahatan yang terorganisir dengan rapi. Dunia ini dikuasai oleh mafia. Wajar, jika kita menyaksikan media informasi di dunia ini tidak mendidik.

    Demikian, beberapa pesan yang bisa dipetik dari hijrah. Yang jelas, “Al Hijratu maadhin ilaa yaumil qiayamah.” (hijrah tetap berlangsung sampai hari kiamat). Baik secara maknawi (hajara, meninggalkan segala bentuk maksiat), pula yang bersifat makani (haajara : meninggalkan lingkungan yang tidak Islami). Ketika Islam belum mendominasi kehidupan. Berbeda dengan haji, hanya diperuntukkan bagi yang mampu. Sebaliknya, selama Islam belum tegak secara de jure dan de vacto, perintah hijrah bersifat wajib sampai hari kiamat sekalipun tidak memiliki apa-apa dan berangkat harus ditempuh dengan berjalan kaki, memakan urat pohon, tempat yang dituju tidak menjanjikan kehidupan dll, menurut jumhur ulama.

    وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

    “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa (4) : 100).

    Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan memberikan pertolongan kaum muhajir di tempat yang baru dengan berbagai fasilitas yang menggiurkan. Bakkah (lingkungan yang membuat orang menangis) yang semula ditempati Ibu Hajar dan Ismail, menjadi Makkah Al Mukarromah (tempat yang diberkahi dan dimuliakan). Tempat yang membuat daya tarik spiritual bagi yang pernah mengunjunginya. Gua dikelola oleh ashhabul kahfi menjadi pusat dakwah. Penjara dirubah oleh Yusuf menjadi sarana tarbiyah.

    Jika di tempat pertama belum ditemukan janji Allah, maka carilah tempat yang lain. Karena di tempat yang baru ini Allah akan membuktikan jaminan-Nya. Bukankah bumi Allah itu luas?

    Jika bahan pembuatan pabrik di perut bumi tertentu habis, carilah bumi yang lain. Insya Allah tempat yang baru akan ditemukan limpahan karunia-Nya.*

    Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Semarang, Jawa Tengah
    Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
    Red: Cholis Akbar


    Rating: 5

    0komentar :

    Posting Komentar

    top